Saturday 4 August 2012

Sebuah Coretan tentang Coretan di Dinding

Imagination is more important than knowledge. Itu katanya Albert Einstein. Kalo menurut gue sih imajinasi sama pentingnya ama knowledge, saling melengkapi. Pengetahuan tanpa imajinasi bikin kita kaku, gak kreatif. Tapi imajinasi tanpa pengetahuan juga gak komplit dong, bikin kita susah untuk mewujudkan imajinasi itu sendiri, yang pada akhirnya mungkin hanya akan berakhir sebagai khayalan aja. Padahal khayalan yang disertai pengetahuan akan menghasilkan karya besar. Contohnya imajinasi Wright bersaudara tentang pesawat terbang, yang pada akhirnya bisa mereka wujudkan dengan pengetahuan mekanik yang mereka miliki. Contoh lain adalah film-film Hollywood yang udah jelas ceritanya menghayal abis, seperti The Avengers. Tetap aja kita terbawa dan terkagum-kagum.  Bukan hanya karena jalan cerita dan karakter tokohnya, tapi juga karena teknologi dan spesial efeknya yang memukau, sehingga pada saat menyaksikan filmnya terasa nyata. Intinya film tsb adalah keindahan yang merupakan gabungan antara imajinasi dan pengetahuan alias teknologi.

Gue juga salut dengan orang-orang kreatif yang imajinasinya udah tingkat dewa, kayak JK Rowling contohnya. Sebagai sesama ibu-ibu, gue salut banget bahwa kesibukannya mencari nafkah dan membesarkan anak tidak mematikan imajinasinya yang luas itu. Jadi kesimpulan gue, imajinasi itu gak  tergantung umur dan profesi. Siapapun bisa menghasilkan karya besar jika dia membebaskan imajinasinya.

Makanya gue juga gak mau membatasi anak-anak gue dalam berimajinasi. Apapun yang mereka pikirkan dan ceritakan, walau kadang-kadang agak lebay, tetap gue respon, dan gak pernah gue berentiin dengan kata-kata “Jangan ngaco” atau “Jangan menghayal”, karena mengatakan kalimat seperti itu menurut gue bisa mematahkan semangat dan mematikan imajinasi mereka. Kita gak pernah tau efek kalimat negatif yang kita katakan ke anak pada saat mereka merasa hebat, karena efeknya memang tidak terasa langsung. Mungkin, tanpa kita sadari, kita telah membuat mereka merasa kecil dan kehilangan semangat imajinasi yang seharusnya menjadi modal mereka di masa depan.

Anak gue yang laki-laki, sekarang masih balita. Kalo dikasih kertas dan crayon, mungkin hanya betah dua menit mencoret-coret, itu juga dengan malas dan asal asalan. Sisanya ditinggal. Lalu dia berdiri dan mulai mencoret dinding. Gue perhatiin pada saat dia sedang mencoret dinding, kok ni anak jadi beda ya. Dia sangat gembira pada saat menarik garis yang panjang atau membuat lingkaran yang besar di dinding, karena medianya sangat luas, tidak seperti di buku gambar yang walaupun sudah dikasih ukuran A3, mungkin bagi dia tetap terasa sempit. Pada saat menggambar dia mengoceh menceritakan gambarnya.

“Ini Thomas yang bulet. Ini Toby. Kalau Toby kotak” atau “Ini ikan hiu yang gedeeeee banget. Sereeeeem banget. Tu giginya tu… tajem kan?” katanya sambil menunjuk coretannya yang belum berbentuk. Lalu dia bisa melanjutkan ceritanya sambil terus mencoret dinding. Alhasil dinding rumah gue, baik yang di ruang duduk maupun di kamar, penuh dengan warna warni coretan krayon. Dan rumah gue jadi keliatan jorok. Gue gak keberatan, suami gue juga gak keberatan. Resikonya kita harus terbiasa dengan komentar orang-orang yang datang ke rumah.

“Pi, itu dinding di coret-coret kamu biarin? Gak dimarahin tuh? Kalo gue udah gue apain kali anak gue kalo berani coret coret sembarangan.”

Gue cuma ketawa. Buat gue punya anak kecil berarti harus siap punya rumah yang berantakan, karena itu adalah bukti bahwa mereka bermain dan bereksplorasi. Gue emang punya niat ngecat rumah, tapi nanti setelah anak-anak udah gak balita lagi. Menurut pengalaman gue dengan anak yang pertama, setelah masuk SD seorang anak sudah mengerti dan sudah bisa dibilangin kalau coret coret sembarangan itu bakal bikin dinding kotor. Tapi dua balita kecil gue itu gak ngeliat dinding yang penuh coretan itu sbg dinding yang kotor, jadi untuk sementara gue akan ngikutin cara pandang mereka, yang menganggap coretan-coretan di dinding itu sebagai karya mereka yang paling hebat. Dinding itu akan gue foto sebagai kenang-kenangan, supaya setelah besar nanti mereka akan tau seperti apa mereka waktu kecil.

Gue gak tau cara ini benar atau salah menurut ilmu pendidikan anak. Tapi inilah cara gue. Gue akan melarang dan menegor anak -anak gue kalo emang mereka melakukan sesuatu yang salah seperti memukul teman atau saudaranya, merebut mainan yang dipegang orang lain, berkata kasar, melempar barang, pokoknya yang merugikan orang lain dan juga nggak menguntungkan diri mereka. Dan menurut gue, menumpahkan imajinasi di dinding itu gak merugikan orang lain, malah menguntungkan diri mereka dari segi imajinasi dan kreatifitas, jadi gak ada alasan untuk dilarang. Kecuali jika mereka melakukannya di rumah orang lain, pastinya gue bakal marah. Untungnya selama ini hal itu gak pernah terjadi. Kalau mereka memegang krayon di rumah tetangga atau di sekolah, mereka hanya menggambar dan mewarnai di kertas, gak pernah sama sekali menyentuh dinding orang lain. Dua balita gue itu cukup tau diri bahwa dinding kanvas mereka hanya ada di rumah, dimana mereka nyaman berimajinasi dan menjadi dirinya sendiri.

No comments:

Post a Comment